Ketika Pertama Kali Masak Untuk Orang Serumah
Idelando-Tentu saja dalam hidup kita, ada kegiatan atau pekerjaan yang jarang dan bahkan baru pertama kali kita lakukan. Ketika kita mengerjakannya, itu pasti karena kita ingin mencari pengalaman baru atau karena tuntutan tugas atau juga karena seseorang meminta kita untuk mengerjakannya. Salah satu dari sekian pekerjaan itu adalah masak.
Ini yang tengah saya lakukan selama libur sepuluh hari. "Opin, daripada kau duduk kosong libur ini, kau masak supaya kami pulang tinggal makan. Sesekali sibuk di dapur, latih masak." Pinta mama yang tidak menyukai vetsin itu. Masak? Sebenarnya tidak ada masalah dengan itu. Saya masak, tapi jarang. Setidaknya punya pengalaman masak untuk diri sendiri: masak mie, masak telur, masak nasi di magic era 2015, masak sayur keasinan, dan tempe bale tomat keasaman. Pinta itu menjadi soal ketika kau diminta masak untuk orang serumah dan kau dituntut memasak makanan yang tidak pernah kau masak sebelumnya. Pernah tidak kalian, disuruh beli ini itu untuk kebutuhan dapur tapi tidak diberitahu olahnya bagaimana? "Kau masak saja." Kata mama.
Nonton Tutorial di Youtube
Ada campur aduk perasaan ketika kau melakukan itu semua. Ada perasaan senang karena kau memasak untuk orang-orang yang kau cinta. Kau membayangkan mereka menyantap masakanmu dengan penuh gairah. Namun, sekaligus ada perasaan cemas. Cemas masakanmu tak enak. Kau membayangkan ekspresi mereka seperti sedang menelan air jeruk nipis. Lalu, kau sedikit tersipu ketika membayangkan itu.
Cara yang dianggap ampuh di tengah campur aduk perasaan seperti itu adalah nonton tutorial di youtube. Mulai dari alat dan bahan sampai pada pembuatannya. Namun, nonton tutorial di youtube cukup mengoyak perasaan juga, karena untuk satu jenis makanan ada puluhan toturial dengan alat dan bahan dan pembuatan yang (sedikit) berbeda. Belum lagi kalau tiap youtuber punya klaim "ini cara memasak tempe tomat yang benar". Nah, kau mau ikut yang mana. Mau ikut yang ini takut kemanisan, karena lidah orang Manggarai tak akrab dengan makanan manis. Mau ikut yang itu, takut keasaman. Sementara hari itu kau bermimpi akan melahirkan makanan terenak bagi keluargamu. Pada akhirnya kau akan lari ke kios beli sajiku, lalu goreng itu tempe pakai sajiku.
Ada hal yang lebih konyol. Kau menghabiskan waktu nonton tutorial tentang hal yang justru sering dilakukan dan tidak pernah ada masalah dengan itu. Ini dilakukan karena terlalu cemas. Misalnya, hal yang biasa dilakukan adalah masak nasi pakai magicom. Tentang berapa liter air harus nonton ulang di youtube. Padahal hasilnya sama saja dengan yang biasa kau lakukan. Inilah totalitas untuk orang-orang tercinta.
Tak Ingin Meninggalkan Jejak Apa pun di Dapur
Ketika selesai masak kau tak ingin meninggalkan jejak apa pun di dapur. Ada dua tujuan. Pertama, kau ingin dipuji sebagai anak yang rapi saat kerja di dapur. Kedua, ingin memberi kejutan. Oleh karena itu, mangkuk dan panci yang sudah dipakai dicuci bersih dan dikembalikan ke posisi semula. Begitu pun, sisa sayur dan plastik bumbu disapu bersih sebersih-bersihnya. Dalam benak rencana telah disusun. Ketika mama pulang langsung mengomel "haeh, belum ada tanda-tanda masak, buat apa saja dari tadi, sudah lapar ini, tidak bisa diharapkan kalau tinggal di rumah." Blablabla. Tanpa banyak bicara kau pindahkan makanan yang sudah kau simpan dengan rapi ke meja makan. Sudah pasti, mama terkejut dan kau dapat pujian. Receh buanget kan rencana ini? Iyelah!
Mama Memuji, Saudari yang mengejek, dan Bapa Yang Tak Berkomentar
Bagaimana pun kau menanggap dirimu dewasa, di hadapan ibumu kau tetap anak kecil. Inilah yang terjadi di meja makan. Engkau akan dipuji oleh ibumu seperti anak kecil yang baru saja berhasil mengikat tali sepatu dengan benar. Kemudian, dengan bangga kau menceritakan proses memasakmu. Berapa banyak minyak goreng. Apa saja bumbu yang kau siapkan. Bagaimana kau mengolah bumbu itu. Mama hanya bilang "itu toh, ternyata kau bisa" sambil mengelus-elus kepalamu. Di tengah kau memanen pujian dari ibumu, saudarimu pasti satu-satunya yang jahil. Dia selalu membandingkan masakannya dengan masakanmu. Baginya, masakanmu memiliki banyak kekurangan. Kurang inilah, kurang itulah. Namun, dialah yang makan paling lahap.
Namun, hanya kalimat ini yang kau dengar dari bapamu "ya makan sudah, jangan banyak omong". Are you sure, bapa? Anakmu ini butuh komentar. Terpaksa kau yang bertanya "enak?". Bapa hanya bilang "Ya, yang penting bisa makan." Itulah bapa.
Omong-omong, dari dapur kita belajar tentang sebuah proses. Bukan tentang kemewahan dapur, tapi bagaimana kita menggunakan dapur untuk menghasilkan masakan yang istimewa bagi keluarga. Masakan buah dari cinta yang tulus.
Penulis: Opin Sanjaya
0 Komentar