Samar
Idelando.com-Mendung
menggelayut tatkala senja seharusnya menampakkan wujudnya. Hatiku risau entah
karena ijazah, IPK cumlaude[1],
sertifikat, atau keadaan yang seolah-olah membungkam ruang gerakku. Harusnya
dengan perolehanku selama kuliah, aku jadi bangga dan ruang gerakku makin
bebas. Tapi takdir berkata lain. Momen di mana aku kehilangan ‘rumah’ dalam
kehidupanku. Rupanya matahari tak selalu bersinar. Hanya awan hitam, rintik
hujan, dan kelam.
“Bantu
Ibu mengolah momong[2], Nak.”
ucap Ibu
Mendengar ucapan Ibu di pagi hari, rasanya aku enggan menggerakkan bibir manisku dan beranjak dari pulau labuhanku. Tetapi takdir menamparku. Aku harus bantu Ibu, dan harus terlihat baik walau sebenarnya rapuh. Momong sebagai tanda selametan[3]. Selametan dan momong terdengar asing mungkin bagi kalian. Ya, aku orang desa yang biasanya hidup di kesunyian, hanya pemandangan sawah, sungai serta gunung yang ada. Jauh dari hiruk pikuk kota tetapi aku tidak ketinggalan zaman seperti orang kota.
“Cepat kau cuci sayuran itu! Daritadi dipanggil hanya diam mematung!”
“Maaf Bu.”
“Punya anak sarjana kerjaannya hanya diam di kamar! Buat apa bayar kuliah mahal-mahal setelah kuliah kegiatannya hanya di kamar!” ucap Ibu
“Jauh-jauh kuliah merantau hasilnya hanya semedi di kamar. Harusnya sarjana itu ya selepas kuliah langsung bekerja.” sambung Ayah
Begitulah
cemoohan yang menusuk telingaku setiap hari. Jikalau tega membalas cemoohan itu
mungkin keindahan bibirku akan sirna. Siapa juga yang mau kuliah? Semua paksaan
dari orang tuaku yang hanya ingin menunjukkan pada seluruh warga desa bahwa mampu menyekolahkanku ke jenjang yang lebih
tinggi dan terlebih hanya untuk menuruti gengsinya.
Kupingku
ini telah acuh kepada cemoohan kedua orang tuaku. Mau tidak mau aku harus tetap
setegak pohon jati walau sebenarnya hatiku selunak tomat. Aku cuci sayuran itu
dengan air mengalir hingga kurasa bersih. Aku menghampiri Ibu yang dari
kejauhan tampak bahwa raut wajahnya bak warna abu-abu.
“Sudah kucuci Bu sayurnya.”
“Okelah kalau begitu. Kau pilihi kelapa di teras rumah mana yang pas untuk memasak momong. Kau tahu kan?”
“Ini, Bu.” ucapku sambil menaruh kelapa di samping kaki Ibu.
“Ya sudah taruh kelapanya di situ. Kau potong wortel dan kacang panjang. Setelah itu cuci lagi sayurnya.”
Hariku
disibukkan dengan mengolah momong.
Kukerjakan semua yang diperintahkan Ibu. Aku sudah malas mendengar suaranya yang
kasar. Meskipun begitu Ibu pintar memilih sayuran bahkan memasak makanan. Tak
heran sayuran yang Ibu siapkan untuk sego
momong ini segar-segar. Kupotong wortel yang berwarna oranye seperti warna
senja yang indah kala dilihat di tepi pantai. Oranye mengingatkanku akan suatu
hal.
Oranye
identik dengan Rena. Rena yang selalu membawa kehangatan, kenyamanan bahkan
keceriaan mengisi pertemanan kita berdua. Menurutku hanya Rena yang tahu-menahu
tentang aku. Rena adalah rumah keluh kesahku. Rena yang bijak, sopan, dan penuh
keceriaan membawa hariku lebih indah. Walau saat berada di rumah aku merasakan
petir yang menyambar tatkala kedua orang tuaku sedari dulu menuntutku harus
berprestasi. Meskipun aku mampu, hanya saja aku tidak suka dengan cara mereka
memperlakukanku.
Bale-bale
pinggir sawah desaku menjadi saksi kelabu. Mendung rupanya sudah terlihat di
setiap ambang pintu rumah. Hawa yang dingin menusuk tatkala angin sedang
bertiup. Gerimis pun turut hadir dan menjadikan suasana bertambah syahdu. Aku
duduk bersama Rena menikmati udara kala itu. Sebenarnya berat hatiku untuk
mengatakan ini. Tetapi Rena harus tahu bahwa aku akan pergi ke kota seberang
untuk menimba ilmu lebih tinggi yang lagi-lagi harus mengikuti kemauan orang
tuaku. Rena memang tak seberuntung aku. Dia hanya tamatan SMA. Aku tahu ketika
aku selesai menceritakan itu, tampak bilur-bilur air mata sudah mulai muncul
dari mata belonya. Rupanya hujan tak hanya turun di sekitar bale-bale, tetapi
juga turun membasahi pipinya.
Seusai
memotong wortel dan kacang panjang, aku menyeka keringatku. Ibuku merebus semua
sayuran mulai dari bayem, wortel, kacang panjang, kecambah, dan kubis. Sembari
menunggu sayuran matang, Ibuku menyiapkan bumbu. Waktunya aku berperang. Berperang
mengkrawu [4] sayuran
dengan bumbunya. Saat mengkrawu tiba-tiba
dadaku sesak. Air mataku tak kuasa kutahan. Aku lampiaskan segala kesedihan,
kekesalan, kekacauan yang ada dalam diriku. Untung saja Ibu meninggalkanku
sendirian di dapur tatkala aku sedang mengkrawu.
Aku tidak punya tempat lagi untuk berkeluh kesah. Rumahku hilang.
Urapku
yang malang. Tetesan air mataku rupanya tumpah membasahi urap momong ini. Setidaknya hatiku lega meskipun
urapku berkuah air mata. Selesai sudah aku mengkrawu
urap untuk sego momong [5] ini.
Giliran Ibu menyiapkan sego momong
dengan dibungkus daun pisang. Sego momong
yang terdiri dari urap, nasi, dan telur rebus rupanya siap diedarkan. Ayah
duduk di kursi depan rumah membawa secarik kertas berisikan daftar tetangga
yang mendapat bagian sego momong ini.
Badannya yang kekar, tangannya yang berotot, serta tato harimau di lengan
kanannya terlihat jelas di depan mataku karena rupanya Ayah mendatangiku di
sudut rumahku.
“Bagikan
sego momong kepada tetangga yang ada
di daftar ini. Jangan sampai terlewat nanti Ayah malu. Tempo hari Ayah sudah
cerita ke tetangga bahwa akan ada selametan
atas kelulusan sarjanamu.”
“Iya
Ayah, tenang saja.” sahutku
“Satu
lagi kau harus terlihat bahagia atas kelulusan sarjanamu. Pasang muka yang
indah dilihat dan beri senyuman mereka yang kau hampiri dan kau beri sego momong ini.”
Aku
baca secarik kertas yang Ayah berikan. Ada 20 daftar nama tetangga yang ia
tulis. Di nomor ke-19 tertulis nama Rena. Kulangkahkan kaki menuju ke rumah
tetangga yang satu dan yang lainnya. Aku bagi sego momong sebagai tanda
selametan atas kelulusan sarjanaku dengan penuh senyuman. Semua tetangga
menyelamatiku. Tibalah saatnya aku menuju rumah Rena. Andai kalian tahu
perasaanku kala itu. Hatiku gundah gulana bukan kepayang. Hubunganku dan Rena
sudah tidak seakrab dulu semenjak kejadian di bale-bale itu. Rena menjauh
dariku dan tidak berkomunikasi denganku lagi mungkin kecewa.
Nyanyian
burung sore itu menemani dan mengiringi langkahku menuju rumah Rena. Aku tiba
di rumah Rena. Kuketuk pintu rumahnya. Terdengar langkah kaki dari dalam rumah.
Hatiku berkecamuk ketika mendengar suara pintu terbuka. Ibu Rena membukakan
pintu dan menyambutku dengan senyuman hangatnya. Aku dipersilakan duduk di
ruang tamu. Rupanya hanya Rena yang menjauh dariku tidak dengan Ibunya.
Terlihat jauh di dalam mata Ibu Rena terpancar kebahagiaan tiada tara yang
tidak ia ungkapkan.
Kata
Ibu Rena, Rena sedang ada di rukonya. Rupanya teman baikku sudah punya usaha,
sukses, dan dia menikmatinya. Ibu Rena bercerita tentang Rena dengan nada
bangga. Hatiku bak tertusuk jarum. Andai saja kedua orang tuaku bangga dengan
apa saja yang aku kerjakan. Mungkin aku akan menikmati kehidupanku. Apalah
dayaku, aku hanya seorang anak yang menentang kemauan keras orang tuaku saja
tak sanggup. Bisnis hampers dan buket adalah cita-citaku bersama Rena. Tetapi
aku tetap merasa bahagia meskipun tak seakrab dulu lagi.
Aku
bergegas pamit dengan Ibu Rena karena masih ada satu sego momong yang belum aku antar. Ibu Rena mengantarku ke depan
rumah dan melihat kepergianku dengan kehangatan senyumnya. Senyum yang lebih
hangat dari senyum Ibu. Maafkan Ibu aku anak yang kurang ajar. Tapi memang
begitu adanya. Derap-derap langkah kecilku berjalan di jalanan yang sempit. Di
sepanjang jalan hatiku bergumam kapan ya aku bisa sedekat dulu sama Rena? Rupanya
aku belum bisa move on [6] sepulangku
dari rumah Rena tadi. Rumah yang penuh kenangan masa indahku bersamanya.
Sayup-sayup
terdengar suara tawa dan ocehan Rena menemani perjalanan terakhirku memberi sego momong ini. Rupanya aku serindu
ini. Rindu yang hanya bisa kusimpan dan tertata rapi di dalam lemari kerinduan.
Kuinjakkan kakiku di halaman rumah yang amat luas. Suara Rena dalam bayanganku
buyar dihantam kerasnya bunyi kinjeng
tangis [7] karena halaman rumah ini banyak
pepohonannya. Sehingga suara kinjeng
tangis ada di mana-mana.
“Kulonuwun [8] Budhe.”
“Walah
cah ayu[9].
Ada apa ke sini?”
“Ini
Budhe ada sego momong.”
“Wah
sudah lulus cah ayu. Semoga ndang
nikah yo.” kata Budhe Lastri
“Cah Ayu kapan nikah? Si Rena sudah ada
calonnya. Mungkin bulan depan itu lamarannya.” sahut Pakdhe Slamet
“Lha
iya Pak. Biasanya anak perawan desa sini kalau sudah selesai sekolah langsung podo rabi e[10].”
“Hiya Buk. e. Yang seumuran aja sudah pada
nikah dan punya momongan. Ini kok baru selesai sekolah.”
Kesal
rasanya mendengar omongan Pakdhe Slamet dan Budhe Lastri ini. Bergegas aku
berpamitan dan pergi dari rumahnya. Suhu badanku mungkin jika di termometer
sudah menunjukkan 39 derajat panasnya. Bahan obrolannya hanya membandingkan
kehidupanku dengan orang lain. Mereka tidak tahu saja bagaimana punggungku ini
nyaris tak sanggup menahan bebanku.
Hari
sudah mulai gelap. Semburat merah yang terlihat mulai samar. Sesamar rasa di
hatiku dan sesamar masa depanku. Menjadi lulusan sarjana, ber-IPK tinggi,
mempunyai banyak sertifikat rupanya tetap bisa dipandang sebelah mata. Bebanku
bertambah dengan banyaknya perbandingan yang diutarakan. Kali ini merasuk ke
dalam jiwaku sehingga otakku menjadi overload
[11] seketika. Kakiku tak mampu berdiri
kokoh karena perkataan tadi dan terasa lemas tak sanggup menopang badanku
padahal hanya 47 kilogram. “Kenapa hidupku seperti ini?” Sepanjang perjalanan
pulang aku dihantui oleh bayang-bayang yang hitam nan gelap. Cukup sesak
rasanya dada ini. Entahlah aku bukan aku. Haruskah aku mengikuti perkataan Ayah
dengan pura-pura tersenyum? atau mengikuti kata hatiku untuk berdamai dengan
keadaan?
[1] dengan pujian atau kehormatan, nilai di atas
3,50
[2] wujud doa dan ucapan syukur masyarakat Jawa
berupa nasi, urap, telur rebus
[3] tradisi sebagai ungkapan syukur atas karunia Tuhan
[4] menyampur atau mengaduk sayuran bersama dengan
bumbu
[5] nasi, urap, telur rebus
[6] pindah
[7] hewan tonggeret atau garengpung
[8] permisi
[9] anak cantik
[10] langsung nikah
[11] terlalu berlebihan
Penulis: Rara Sanjaya. Nama
pemberian orang tua Andrea Gusti Kinnara Sanjaya. Mungkin karena kepanjangan
maka dipanggil Rara. Mahasiswa di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Kampus Kota Madiun yang sedang menempuh program S1 Pendidikan Bahasa Indonesia
dan sudah semester 6. Berasal dari sebuah kabupaten yang terhimpit oleh Solo
dan Yogyakarta. Kabupaten Klaten, 4 Juli 2001 daerah asal dan kelahiran saya. Hobi
saya makan dan jajan. Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Menjadi anak
pertama bukan hal yang mudah namun harus tetap dijalani karena ini sebuah
takdir. Takdir menuntut kita untuk menjalaninya bukan untuk memilih. Untuk
mengenal saya lebih lanjut bisa hubungi saya di nomor 088238624100 atau melalui
instagram @gabriellarara.
1 Komentar