Manusia Mikrocip
Idelando.com-Suasana
kelam mulai menyelimuti seluruh bagian di ruang keluarga. Kursi yang semula
dingin kini memanas. Hanya seorang pria berusia 30-an yang tidak setuju pada
perintah itu. Dia pun memberanikan diri untuk membuka suara.
“Bukankah seharusnya aku yang mewarisi
perusahaan itu? Mengapa Ayah memberikannya kepada Bella?” tanya pria itu. Dia
adalah Rehan, anak sulung pimpinan Jaya Grup.
“Apa kamu tidak sadar diri? Kamu ini
lumpuh. Lihatlah adikmu! Dia sempurna, pintar, dan bisa diandalkan. Kamu sangat
tidak cocok untuk menjadi penerus Ayah, Rehan. Apa kata orang-orang di rapat
pemegang saham jika pemimpinnya adalah seseorang yang lumpuh?” bentak ayah.
Hati Rehan seakan teriris oleh ucapan
tersebut. Dia tidak menyangka bahwa ayahnya akan berpikir demikian. Tanpa
sadar, pikiran jahat mulai menyapa dirinya. Dia menemukan informasi tentang
pemasangan mikrocip ke dalam tubuh manusia. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk
memasang benda tersebut ke dalam otaknya.
***
Seiring berjalannya waktu, Bella resmi
menjadi penerus perusahaan Jaya Grup. Banyak orang yang hadir di acara
tersebut, termasuk Rehan. Dia tampak duduk di kursi rodanya. Sebenarnya, Rehan
enggan menghadiri acara tersebut. Namun, ada maksud tersembunyi di balik semua
itu. Dia ingin mencuri semua data perusahaan. Tanpa berpikir panjang, Rehan
mulai melakukan aksinya. Dia menyembunyikan kursi rodanya, lalu memijakkan
kakinya ke lantai. Ya! Rehan bisa berjalan. Sejak memasang mikrocip, dia bisa
menggerakkan kakinya secara perlahan. Bahkan, dia bisa mengunduh kemampuan yang
belum pernah dimilikinya. Hanya saja keluarganya tidak pernah tahu akan hal
itu. Dia akan berpura-pura lumpuh dan merahasiakannya sampai dendamnya berhasil
terbalaskan.
Saat berkeliling, CCTV tampak pada
setiap sudut perusahaan. Rehan tidak ingin rencananya gagal. Dia pun segera
mengaktifkan sensor di bola matanya untuk mematikan CCTV tersebut secara
otomatis. Sebelumnya, dia juga telah melakukan pengintaian untuk mendapatkan
data karyawan di perusahaan Jaya Grup sehingga seluruh komputer dapat diakses
dengan mudah. Dia hanya perlu memberikan perangkat palsu yang seolah-olah
terlihat seperti perangkat aslinya di setiap komputer. Kemudian, setiap akun
dan password yang masuk pada perangkat tersebut akan terhubung ke
dalam cipnya sehingga dia bisa meretas data-data perusahaan. Tanpa memakan
banyak waktu, rencananya ini berhasil dilakukan. Dia bisa berlalu-lalang dengan
bebas karena para karyawan menghadiri acara pelantikan tersebut. Setelah
selesai, dia kembali ke acara tersebut dengan kursi rodanya untuk menutupi
tindakan yang baru saja dilakukan.
Ketika kembali, ada seseorang yang
memanggilnya dari belakang. Ternyata, orang tersebut adalah ayahnya. Tanpa
disadari, tatapan mata Rehan berubah menjadi sinis.
“Rehan, kamu ini ya selalu bikin repot
orang saja. Kalau tidak bisa jalan, lebih baik diam saja. Jangan keluar tanpa
pamit!” kata ayah.
Rehan hanya membisu. Hatinya semakin
menabur dendam pada ayahnya. Namun, kemarahan ayahnya meredam ketika Bella
datang.
“Sudahlah, Ayah jangan memarahi Kak
Rehan terus! Kasihan dia,” ujar Bella.
Kemudian, mereka meninggalkan Rehan
karena ingin menyapa tamu. Rehan pun bergumam, “Tunggu saja pembalasanku.”
Bulan mulai menampakkan sinarnya. Semua
orang telah berlaut di pulau mimpi. Hanya Rehan yang masih berkutat pada
komputernya. Dia melakukan pengecekan agar perangkat-perangkatnya dapat bekerja
sesuai rencananya. Meskipun bekerja sendirian, Rehan bisa mengatasi segalanya
dengan baik. Dia juga tidak membutuhkan bantuan orang lain. Baginya, cip
tersebut sudah cukup membantu pekerjaannya. Dia dapat mengingat segala
informasi tanpa membaca atau menghafalkannya terlebih dahulu. Karena cip
tersebut, dia bisa memperoleh informasi hanya dengan memfokuskan pikirannya.
Ketika matahari menyapa, layar komputer
Rehan penuh dengan notifikasi. Jebakan tersebut berhasil dimakan oleh
karyawan-karyawan di perusahaan Jaya Grup. Mau tak mau, dia harus bangun dan
melakukan pekerjaannya. Dia mulai memejamkan mata dan memfokuskan pikiran untuk
mencari akun yang lemah. Tak lama kemudian, akun-akun tersebut terpindai di
layar komputernya. Tangannya dengan lihai mentransfer seluruh data yang ada di
akun tersebut ke dalam mikrocip di otaknya. Setelah semuanya ditransfer, dia
melakukan coding dan memberikan attack yang berfungsi untuk
memblokir data-data yang baru saja diunggah pada akun tersebut. Dia juga selalu
menghapus IP address terhadap data yang diretas untuk menghilangkan
jejak lokasinya.
“Sebentar lagi, seluruh data perusahaan
Jaya Grup akan jatuh ke tanganku. Aku tidak sabar melihat reaksi Ayah nantinya
ketika perusahaannya hancur,” ujarnya.
Setelah melihat dan membacanya, ada satu
perusahaan yang menarik perhatiannya. Perusahaan tersebut bernama Sentosa Grup.
Sudah 5 tahun, perusahaan itu menjadi saingan dari perusahaan Jaya Grup. Rehan
pun memutuskan untuk bekerja sama dengan Presdir Sentosa Grup. Namun, ada
persyaratan dalam kerja sama tersebut. Jika rencana Rehan ini berhasil, Presdir
Sentosa Grup harus memberikan satu anak perusahaannya. Tanpa berpikir panjang,
mereka menyetujui syarat tersebut.
***
Puncak prestasi perusahaan Jaya Grup
kian merosot. Kebocoran data semakin merambat ke telinga para investor. Hal ini
membuat mereka murka karena harga sahamnya turun drastis. Bukan hanya di
perusahaan, ketegangan ini juga terjadi di rumah Rehan. Dia melihat ayahnya
yang duduk bersama Bella di sampingnya.
“Maafkan aku, Ayah. Aku tidak bisa
menjaga amanat Ayah,” ujar Bella menunduk.\
“Kamu ini bagaimana sih? Bisa-bisanya
kebobolan data. Apakah kamu tidak pernah mengecek semua data itu? Bagaimana
tanggapan mereka nanti di rapat pemegang saham?” bentak ayah.
Bella hanya menundukkan kepalanya. Dia
sadar bahwa dirinya salah. Di sisi lain, Rehan tidak tega melihat adiknya kena
omelan. Dia pun berinisiatif untuk membantu Bella.
“Biarkan aku yang maju di rapat pemegang
saham,” teriak Rehan dari jauh.
Kakinya mulai melangkah, mendekatkan
diri pada mereka. Namun, ayah dan adiknya kebingungan. Baru kali ini mereka
melihat Rehan bisa berjalan.
“Rehan, sejak kapan kamu bisa berjalan?”
tanya ayah.
“Itu tidak penting. Yang terpenting
adalah Ayah harus berjanji jika aku bisa menenangkan mereka, perusahaan Jaya
Grup akan jatuh ke tanganku,” pinta Rehan.
Ayah mengerutkan keningnya. Hatinya
ganjal ketika harus memercayai permintaan anak sulungnya. Namun, semua itu
dilakukannya demi perusahaan Jaya Grup yang sudah seperti hidup dan matinya.
Dia pun menyetujui Rehan untuk memimpin rapat pemegang saham.
Dari pagi berganti malam, Rehan kembali
berkutat pada layar komputernya. Kali ini, dia menghentikan pembobolannya di
perusahaan Jaya Grup dan beralih ke perusahaan Sentosa Grup. Sejak bekerja
sama, Rehan telah mengintai dan memberikan penyadap di perusahaan tersebut. Dia
takut jika Presdir Sentosa Grup akan berkhianat padanya. Sebelum hal itu
terjadi, dia telah melakukan penyerangan terlebih dahulu. Satu per satu data
dari perusahaan tersebut mulai masuk ke cipnya. Hanya saja waktu semakin
mengejarnya. Dia pun meningkatkan cara kerja perangkat-perangkatnya ke level
yang lebih tinggi dan matanya juga mulai memindai dengan keras.
***
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba.
Pagi itu, Rehan mengenakan pakaian yang rapi untuk menghadiri rapat pemegang
saham. Namun, ada yang aneh di kepalanya. Rasa sakit mulai menerjang bagian
otaknya. Bahkan, peringatan ‘error’ terus bermunculan di layar
komputer, tanda bahwa pemakaian mikrocip telah melampaui batasnya. Hanya saja,
peringatan itu diabaikan oleh Rehan. Dia yakin bahwa rasa sakitnya ini hanya
sementara.
Saat berjalan, Rehan tidak kuat menopang
tubuhnya. Dia ambruk di hadapan ayah dan adiknya. Telinganya masih mendengarkan
suara mereka. Suara yang memanggil namanya dengan lembut dan belum pernah dia
dengar selama ini.
“Rehan, apakah kamu baik-baik saja?”
tanya ayahnya.
Pandangannya mulai kabur. Sekilas, dia
bisa melihat ekspresi khawatir di wajah ayahnya. Andaikan mereka tahu bahwa ada
benda kecil yang tertanam di otaknya. Dialah dalang dari semua kejadian ini.
Namun, semua itu terlambat. Kala itu, isi kepalanya semakin kosong dan
tenggorakannya mulai kering. Rasanya ingin sekali berkata ‘tidak’ untuk
mengakhiri semua ini.
Penulis Nadia Octavia Chandra, Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Kampus Kota Madiun.
0 Komentar