Dureng di Ruteng: Pakai Payung ke Sekolah Berarti Laki-laki Lemah
Idelando.com-Saat ini sedang hujan dari pagi sampai pagi lagi, mungkin di seluruh wilayah Indonesia, tak terkecuali di Ruteng. Kota kecil nan dingin. Sedingin cintaku padamu. Kita orang Manggarai biasa sebut musim ini dengan wulang dureng 'musim dureng'. Dureng: hujan tanpa henti siang dan malam.
Kalau su dureng begini, sebagai anak sekolah, seakan-akan beban di dunia kita semua yang pikul. Ruteng yang dinginnya jadi dua kali lipat membuat kita malas melulu, maunya dalam selimut terus. Sebagai anak sekolah, kita jadi banyak intensi doanya: semoga ada libur karena guru-guru pertemuan, semoga guru tidak masuk karena sakit, dan semoga yang lain.
Tentu saja doa-doa itu tidak akan terkabul. Apalagi adanya dukungan sosok paling sigap di dunia ini yaitu mama. Mama adalah sosok yang paling sigap saat dureng begini. Sebagai bukti cintanya, mama menyiapkan payung bagi anak-anaknya agar tidak basah saat ke sekolah. Namun, apalah arti sigap seorang mama kalau anak laki-lakinya sangat gengsi bawa payung.
Yap, saat dureng begini gengsi siswa laki-laki (bukan semua tapi sebagian) sangat menonjol. Apalagi kalau hanya ada payung motif bunga-bunga atau warna pelangi. Ada satu kalimat konyol yang biasa diungkap kaum adam: lau-laun laku ba payung hitu e, ayu dat jadin. Siswa laki-laki biasanya lebih memilih pakai jaket plus topi, daripada bawa payung. Biar terlihat cool jalan ke sekolah saat dureng begini. Padahal ketika dureng, cool dan jungung beda-beda tipis. Kita merasa diri cool saat jalan, yang orang lain lihat, jungung.
Sebagai Laki-laki Merasa Diri Sangat Lemah
Entah kenapa pada masa itu (mungkin sampai sekarang) siswa laki-laki selalu berpandangan bahwa payung adalah aksesoris perempuan. Jika laki-laki membawa payung saat hujan berarti dia adalah laki-laki ayu dan gemulai. Tentu saja ayu dan gemulai adalah predikat yang tidak diinginkan oleh semua laki-laki. Namun, siapa yang memberi predikat ayu dan gemulai? Ya, diri sendiri atau sesama teman laki-laki. Padahal flu tidak memandang jenis kelamin.
Barangkali ini ada hubungannya dengan sejarah payung di mana abad ke-17 yang lalu bahwa di Barat payung hanya dianggap sebagai aksesoris perempuan untuk melindunginya dari hujan. Kemudian, abad ke-18, secara bertahap para pria di Inggris dengan pemimpinnya Jonas Hanway mengadopsi era payung untuk pria (Sindonews.com). Atau mungkin karena payung-payung yang ada semuannya bermotif bunga-bunga atau berwarna pelangi yang identik dengan perempuan. Jadi, separah apa pun dureng di Ruteng, si jantan yang masih di ajang pencarian jati diri tidak akan pernah mau membawa payung ke sekolah agar tidak terlihat lemah atau dianggap lemah.
Kurang Mendapat Dukungan dari Teman Perempuan
Komentar yang didengar dari teman bila secara terpaksa membawa payung ke sekoah adalah ole ba payung atau cie bawa payung. Komentar seperti ini sering datang dari teman perempuan. Ketika mendengar komentar seperti itu, sekejap kita akan merasa diri menjadi laki-laki paling lemah di dunia ini. Komentar dari sesama teman laki-laki saja kita langsung drop, apalagi kalau dari teman perempuan. Lemahnya dua kali lipat. Jadi, daripada terlihat lemah, lebih baik pakai jaket dan topi stay cool menuju jalan utama untuk tunggu bemo. Kalau tidak ada bemo, ya jalan terus walau hujan yang penting cool. Saat hujan su deras tinggal berteduh sa di teras kiosnya orang. Lemah memang tidak, tapi melelahkan, ia.
Payung dan Kamu Impianku
Anehnya begini. Dari rumah sudah di siapkan payung oleh mama biar tidak nebeng dengan teman yang lain. Tetapi gengsi dan merasa kurang keren menolak membawanya ke sekolah. Su tahu toh? Sampai di sekolah atau gerbang sekolah pasti mencari teman (siswi) untuk nebeng payung saat turun bemo menuju kelas. Belum lagi yang dipilih adalah payung siswi yang ukurannya kecil dan pemiliknya idaman hati kecil kita. Hemm, antara modus dan cinta beta dilema, eh salah. Antara modus dan tujuan masuk kelas cepat beda tipis.
Selain itu, ketika muncul niat nebeng selalu saja ada kaum hawa yang kita tunggu-tunggu. Maklum kita su hafal kebiasaanya pasti bawa payung, su hafal tingginya biar gampang memarkirkan tangan di salah satu bahunya, dan su tahu kalau dia tir akan menolak saat meminta nebeng. Jadi niat nebeng semakin menggebu-gebu. Kondisi terkini saat itu bila terwujud adalah "biar tidak sampai perasaannya, asalkan momennya dinikmati". Belum lagi jika sepanjang jalan menuju kelas dinikmati dengan basa-basi yang sebenarnya tidak perlu tapi kesannya seru dan nyambung. Tuhan e, hanya ite dan saya sa yang tahu indahnya dunia saat itu.
Hemmm, merasa lemah atau tidaknya membawa payung saat hujan bukanlah sebuah judge yang bisa diberikan ke siswa laki-laki. Tetapi saat itu adalah ajang pencarian diri. Semesta yang ada dipikiran adalah sesuatu yang isinya harus sempurna, tanpa merepotkan, dan yang terpenting adalah selalu tampil cool. Walaupun kadang-kadang hal tersebut harus dikorbankan dengan berbagai hal. Bahkan kesehatan. Su tau kalo tir pake payung nanti kebasahan, yang ujung-ujungnya pasti kena flu. Tetap saja payung simpan di rumah.
Omong-omong sekian dulu e. Ini su mulai lagi hujannya. Saya belum tahu lagi nona kelas XII Bahasa yang biasa pake payung mawar pink su lewat ka tidak e. Saya masih tunggu dia em.
Penulis: Opin Sanjaya
Editor : Oan Soro
0 Komentar