Dulu Bucin Minta Ampun, Sekarang Kontakan Secukupnya Saja
Idelando.com-Waktu pertama kali jadian, bucinnya minta ampun. Ingin bertemu dan kontakan terus. Hampir semua waktu senggang untuk doi, baik di kampus maupun di rumah. Rehat kuliah sedikit dimanfaatkan untuk bertemu doi. Janjian via whatsapp, ketemuan di depan kelas atau taman atau kantin.
Saking mabuk asmara, rela
menunggu berjam-jam sampai doi selesai kuliah agar bisa pulang sama. Biasanya
tunggu di kantin dekat kampus, pesan kopi dan dua kompiang goreng biar riuh
kampung tengah sedikit terurus. Kalau doi su datang, hilanglah rasa lapar itu.
Eh, tiba-tiba di tengah
jalan doi mengeluh lapar. Ya jelas ikutan lapar. Lalu buat kesepakatan: beli
sayur untuk masak atau beli gorengan atau beli lauk di warung padang. Oleh
karena situasi urgen, akhirnya ambil keputusan beli gorengan. Makan pertama
untuk kencan pertama pun terjadi. Tak diromantisasi, hanya sedikit geli, karena
hanya makan gorengan. Dasar dua sapiens ni!
Tidak puas pada kencan pertama, sampai
di rumah tetap chat-chatan. Tidak puas chat-chatan, ya video call-an. Yang
parah, berak saja mesti bawa handphone, biar bisa sambil
chat-chatan. Padahal topiknya itu-itu saja: buat apa? Dengan siapa? Sudah
makan? Makan dengan apa?
Kemudian, mulai olok-olok
kampung: jalan berbatulah, sinyal yang parahlah, air yang susah, dan belum
adanya listrik. Aiss, begini sekali pacarannya kami yang di timur ini kha?
Ehem, saat itu
sudah mulai panggil pake nama-nama binatang: kode me, kode malas panjat
pohon me, kode suka curi pisang me, buaya me, lawo me, lawo munggis me.
Akhirnya, si jantan yang mengalah, karena yang betina su bibir panjang.
Seiring berjalannya
waktu, ikut kegiatan di kampus selalu sama-sama. Sesekali ajak doi untuk
terlibat dalam kepanitiaan. Kalau uang keringat panitia su terima, kita
pergi makan bakso. Kencan kali ini su romantis, apalagi ada sedikit
gerimis. Eh, waktu
makan bakso baru tahu, doi kalau makan lama, pake bingits.
Terpaksa, biar kita su selesai makan, harus tunggu doi selesai makan dulu baru minum air. Itu doi
punya aturan. Aturan harus dipatuhi, kalau tidak, bibir panjang tujuh centi meter. Tidak mudah menormalkan kembali bibir yang panjang begitu ferguso.
Kemudian, kita selalu
ikut kegiatan yang sama dan terlibat dalam kepanitiaan yang sama. Tak peduli
apa kata orang. Kalau ada yang gosip, cuek saja, toh mereka juga melakukan hal
yang sama.
Lama-lama, makan bakso sudah jadi sering. Sebulan
sekali atau dua kali. Kalau uang saku lebih. Ya ampun kerenya kita.
Sesekali, hari Minggu, pergi ke gereja sama-sama. Setelah itu jalan-jalan.
Jalan-jalan ke mana saja, tergantung kesepakatan hari itu. Su pasti ada
perdebatan kecil: make up yang terlalu lama atau jemputnya yang terlalu cepat, pakai baju warna apa, beli
jajan atau tidak. Sampai-sampai,
di perjalanan tidak baku omong, tapi tidak lama, baikan lagi.
Pelan-pelan, terlepas dari predikat bucin. Perdebatan
kecil sering terjadi. Lalu ke perdebatan yang lebih besar. Mulai saling
menuntut pengertian. Yang satu dibilang egois, yang satu dibilang tidak peduli.
Su mulai marah-marah, su mulai cemburu-cemburu, su mulai mela
(yang serius), dll. Mulai sering bilang ke doi "kau sudah berubah, tidak
seperti dulu". Padahal masing-masing kita sadar, kita ingin kembali
seperti biasanya lagi. Ingin kumpul bareng teman atau melakukan banyak hal.
Dengan kata lain, kita sadar waktu kita bukan hanya untuk doi.
Begitulah dua makhluk yang disebut betina dan jantan
ketika dalam mabuk asmara. Mencintai tak kenal "secukupnya". Selalu
ingin meminta lebih.
Selalu ingin meminta
lebih inilah yang menyebabkan adanya pertengkaran. Pertengkaran muncul ketika
kita sudah tidak mendapatkan yang "lebih" itu, padahal kita sendiri
tahu, kita sudah merasa cukup. "Lebih" hanya datang sesekali
(sifatnya kebetulan), ia datang dari luar kemampuan kita, sedangkan
"secukupnya" dapat kita beri tiap saat, karena ia datang dari dalam
kemampuan kita. Janji kita akan yang "lebih" itu di awal, yang
menyebabkan kita selalu tamak akan yang "lebih". Kemudian, berujung
sakit hati karena tidak terpenuhi.
Selain itu, akan ada
saatnya semua yang pernah kita alami atau kita lihat rasanya tak lagi sama. Hal itu terjadi begitu saja, tanpa kita
rencanakan; tidak kita inginkan. Namun, suatu waktu pasti terjadi. Kita harus
menerima itu.
Dari waktu ke waktu, kita berhadapan dengan pola kehidupan yang
berbeda, maka suatu hubungan perlu beradaptasi dengan keadaan itu. Jadi, kalau
doi su sedikit berubah--apalagi kita tahu bahwa ia sudah memiliki
pekerjaan--, kita harus memahaminya. Hari ini kau bisa memberi yang
"lebih", belum tentu besok bisa kua beri lagi. Namun,
"secukupnya" selalu ada tempatnya.
Untuk diri sendiri, mungkin kau tidak bisa lagi memberi kabar
tiap pukul 19.00, tapi yang harus selalu kau ingat, kau harus selalu memberi
kabar: kau di mana dan sedang apa.
Omong punya omong, kisah-kisah kecil di atas adalah warna-warna
suatu hubungan yang mesti dinikmati. Sebagaimana dualisme kehidupan, ada baik
ada buruknya. Kita tak akan luput dari itu. Pengalaman-pengalaman itu yang akan
membentuk kita menjadi pribadi yang dewasa di kemudian hari.
Suatu saat, kita akan berkata dengan diri sendiri "tidak
ada guna ju bertengkar terus menuntut pengertian satu sama lain",
karena "mengerti" terbentuk dengan sendirinya, bukan sengaja
dibentuk.
Akan ada suatu titik kita akan saling mengerti tanpa sengaja,
dan titik itu adalah ketika kita sudah memikirkan tujuan hidup, baik diri
sendiri maupun bersama. Akan ada hal-hal yang lebih besar kita bicarakan dengan
doi daripada sekadar kencan dan makan bakso, terlepas dari berjodoh atau tidak berjodoh.
Siapa pun mungkin akan mengalaminya. Ketika itu, pasti kalau kontakan den
doi secukupnya saja, tidak berlebihan tidak kurang, pas-pas saja. Kau tidak
membawa serta handphone lagi saat berak atau kalian tidak harus makan bakso
setiap saat lagi. Secukupnya saja.
Peralihan ini memang tak semudah membalikkan telapak tangan dan membutuh waktu yang lama. Ada begitu banyak tantangan, dan tantangan paling besar adalah kita dihadapkan dengan berbagai pilihan keputusan, misalnya saja berhenti atau lanjut. Namun, tak ada yang salah dengan setiap keputusan, karena kita akan mengalami perputaran yang sama sampai di titik kita menerima satu sama lain, mungkin yang disebut "secukupnya" itu.
0 Komentar