Sastra
Kita Telah Menjadi Angin di Ranting-ranting Rindu
Mama
Mama, bukan lagi aku ketika bunga ini
tak sampai ke alam kekalmu
Jangan asingkan ragaku ketika memeluk jiwamu
saat jangkrik bernyanyi di kegelapan
Bukan lagi aku ketika mimpimu tak disulam
seperti kau menerima ocehanku saat kecil
Zaman yang menurutmu tidak lagi dijalani masa itu
Rasanya ingin lari dan tidak kembali ketika melihat
pesonamu dibalut dengan lekatan putih
Mama, bukan lagi aku ketika tidak melepaskan
dengan tulus saat Dia memecatmu dari bakti
yang layak kau sempurnakan dengan caramu
Kau pun ikhlas menerimanya
hingga tugasmu berakhir luka
Percayalah, aku akan membujuk usiaku
untuk tetap bertahan agar mimpimu terjawab
melalui keringatku di kemudian hari
Jangan asingkan ragaku ketika memeluk jiwamu
saat jangkrik bernyanyi di kegelapan
Bukan lagi aku ketika mimpimu tak disulam
seperti kau menerima ocehanku saat kecil
Zaman yang menurutmu tidak lagi dijalani masa itu
Rasanya ingin lari dan tidak kembali ketika melihat
pesonamu dibalut dengan lekatan putih
Mama, bukan lagi aku ketika tidak melepaskan
dengan tulus saat Dia memecatmu dari bakti
yang layak kau sempurnakan dengan caramu
Kau pun ikhlas menerimanya
hingga tugasmu berakhir luka
Percayalah, aku akan membujuk usiaku
untuk tetap bertahan agar mimpimu terjawab
melalui keringatku di kemudian hari
Kepada Tuhan
(rindu mama)
Deringkan hati dan jiwaku
ketika aku lesu
Ajarkan aku menyadari
bahwa cinta mengenal perjanjian
serta mampu melihat di setiap tindakannya
Aku percaya damai-Mu dalam heningku
sehingga aku tak pernah merasa sendiri
Kutitip nyawaku pada-Mu
Di setiap ujudku kusisipkan sebuah tanda
Biarlah tanda itu selalu memeluk erat
segala keluhan dari kami anak-anaknya
Biarlah cintanya tetap utuh dan subur
walau kini raganya tak bersama kami
Engkau pun perbolehkan kami
untuk saling berkunjung
melalui bunga tidur dan doa
Terima kasih atas tanda
yang membawa damai hati
meskipun pada akhirnya melukai hati
Terima kasih untuk rahasia
yang engkau sembunyikan pada waktu
Engkau pisahkan kami dengan cara yang sakit
Namun, kusadari
keputusan-Mu sangat berharga
Akhirnya kupuji kebesaran-Mu
hingga waktu tak akan bosan memapahku
tuk setia berjalan bersama-Mu
Menit Bisu
Ketika bual
tak mampu memeluk rasa
raga seakan
terhempas di tebing kerinduan
jiwa tak
kuasa menahan sendu
Ratapan
sajak ini gagal mengukir parasmu
kepada siapa
aku bisa singgung?
sedang
malaikat malu menyapaku
Rintikan
hujan menemani tiap hela nafasku
badai
mencekam ribuan helai rambut pohon
Hamparan
kota terpancar
tiada
hendaki rasa bersahut
Ruang ini
penuh gema bisu
hanya ada
deruan dari gadis berambut keriting
menanti
seorang sosok indah kian lama
Tiupan angin
mencoba bercumbu
tak kunjung
reda
Aku masih di
sini menunggu suaramu
Sesobek Sajak
Malam
mengayunkan pohon cantik
seribu kata
jatuh tak tentu arah
antara
pertanyaan dan rindu
Siapa?
tanya dia
Sesekali aku
merunduk
sembari
menjahit jarak
Antara pasti
dan mungkin
ada yang
sedang mengintip
Siapa?
tanya dia
Waktu kadang
kala tak perduli
tentang
jarak yang tak lagi bijak
Entalah,
cukup diam dan resa
antara jejak
dan bimbang
(tanpa judul)
Hari ini
telah menjadi rintik-rintik rindu
dari sisa
rintik-rintik hujan
yang kamarin
kita nikmati
(tanpa judul)
Tuhan...
memujamu adalah cara yang terindah
ketimbang memuja waktu
yang kadang lelah untuk dikejar.
9-2-19
Kasih I
Pada matamu
kulihat terdapat seberkas kasih
membening tanpa beku
Pejamlah sebentar
Aku akan mengusapnya
hingga kasih itu terlelap dalam bibirku
Aku mengasihi matamu
yang esok akan menjadi sangkar
tempatku berteduh
Kuharap aku tidak jadi yang dikenang untukmu
tapi mengenang bersamamu
Kita pun saling mendekap kisah
tanpa harus menghitung jarak
karena aku takan mengelak
Hari ini kau dalam kasihku
14-2-19
Kasih II
Kita hanya
perlu menempuh jalan yang damai
seperti
merpati yang kerap kali menenangkan badai
meski jatuh
berkali-kali
Meski di
sela-sela itu kita sempat berpaling
tapi cinta
tak pernah kehilangan ketabahan
Seperti
kesetiaan sayap merpati
yang menggelepar
tak berkesudahan
Kasih
ketakutan,
kecemasan dan kepahitan
akan lelap
bersama malam yang panjang
karena cinta
mampu mengendalikan segalanya
Kita hanya
perlu memungut kisah
sekalipun
takdir memimpikan tuk berpisah
Namun kita
di bawah atap yang sama
memeluk
harapan sembari bercengkerama
Kasih
kita hanya
perlu menjadi hujan
yang selalu
ditunggu untuk bersua
Saat kita
berjauhan
kita tak
pernah menyerah
Saat hujan,
kita saling mengenang
menyulam rindu
sepanjang hayat
Meski
sama-sama terluka
waktu tak
menjanjikan duka
Kasih
kita telah
menjadi angin di ranting-ranting rindu
Yakinlah
cinta kita tetap berhembus
Jejak
Pernah sesekali setapak itu
menjadi tumpangan jejak kita.
Gerimis hujan berkali-kali menyelinap
di sela-sela kabut yang masih memucat.
Pada langit, kita menaruh mimpi,
dan diselendangkan oleh sajak yang dijanjikan.
Meski mendung tak kunjung menepi,
kita tak lelah berjalan di bawah rintik hujan yang berguguran.
Biarkan cinta terpahat,
tanpa dilekang zaman
dari musim ke musim.
Biarkan jejak itu mengeram lelap,
dan tak lenyap bersama samar kabut.
Namun jika jarak hendak berpaling,
kita pun tak lagi saling bertatapan.
Berdoalah!
Meski jejak itu tak pulang-pulang.
Tetapi, ingatlah!
Kita tak saling kehilangan.
Aku mencintaimu.
9-2-19
Penulis: Ferdiana Wawung. Biasa dipanggil Dian. Guru di SMAN 1 Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat. Habi menulis puisi di memo handphone
0 Komentar