Cinta yang Sial
Seolah tidak peduli dengan darah ikan yang membasahi leher dan mengotori dasternya, Helaha terus mengunyah ikan mentah itu.
Idelando.com-Usai melihat rurehe lamadang yang membawa Adrian menghampiri teluk, Helaha bergegas menuju pelabuhan. Perempuan-perempuan lain juga berbondong-bondong ke arah pelabuhan sambil menggandeng anaknya. Anak-anak yang tidak ingin digandeng ibunya langsung berlari. Sorak gembira dan tepuk tangan riuh ketika para masnait turun satu per satu dari perahu. Setiap dari mereka menenteng ember di tangan. Putri dan putra para masnait langsung menjemput ayah mereka yang baru saja kembali dari laut. Beberapa perempuan kembali merasakan bibir dan dekap suaminya. Seperti istri masnait lainnya, Helaha menunggu Adrian–suaminya–turun dari kapal.
Beberapa
keluarga yang tidak ada sangkut paut dengan laut juga ikut menyambut kembalinya para
pelaut terbaik Pulau Neira. Wajar
saja orang-orang begitu antusias. Pelayaran ini menjadi pelayaran pertama setelah orang Belanda angkat
kaki dari Kepulauan Banda. Selama orang-orang Belanda ada di Kepulauan
Banda, semua pelaut dipaksa bekerja
di hutan pala dengan senapan yang selalu sigap menembus tubuh mereka yang memberontak.
Tanase memperkencang
tali tambang yang digunakan untuk menambatkan rurehe lamadang ke salah satu pancang. Semua orang yang
ada di pelabuhan bisa melihat wajah gembiranya senja ini. Orang-orang sangat
paham alasan di balik senyum bahagia tanase.
Belanda juga sempat membekap keahliannya menjelajah laut dan mengurungnya di
hutan pala Pulau Run.
Helaha mendekat
ke perahu ketika melihat suaminya turun dengan ember di tangan kiri dan kanan.
“Hei, Helaha! Laut
ikut merayakan kepergian mereka. Sudah seharusnya para pedagang culas itu pergi
dari lautan kita. Lihat!” kata tanase sambil
mengangkat sebuah ember penuh ikan miliknya kepada Helaha.
“Syukurlah, Tanase. Lalu, mengapa
Adrian membawa dua ember ikan? Bukannya seorang masnait hanya boleh mendapat satu ember saja?” tanya Helaha.
“Suamimu ini
menang taruhan. Aku mengatakan barang siapa yang bisa menunjukkan tempat ikan
berkumpul di laut dekat Banda Besar, maka ia boleh
membawa ember ikan bagianku. Di antara dua belas masnait lainnya,
hanya suamimu yang bisa menebak tempat ikan berkumpul. Suamimu memang hebat urusan membaca isyarat ikan. Suatu saat
ia akan menjadi tanase hebat seperti aku,”
Helaha tersenyum
mendengar pencapaian suaminya.
“Terima kasih, Tanase. Permisi. Saya
pulang lebih dahulu,” kata Adrian berpamitan.
“Ya! Nikmatilah
ikan-ikan itu, Adrian. Pastikan kau dan istrimu memasaknya dengan enak. Ha ha
ha.”
Adrian dan
Helaha berjalan menjauhi pelabuhan, meninggalkan tanese yang masih saja duduk bersenandung di dekat kapalnya.
Barangkali ia memang masih ingin menghabiskan waktu dengan memandangi kapalnya
yang kembali digunakan untuk menjelajah laut. Berbeda
dengan Adrian dan Helaha, keduanya berjalan dengan buru-buru. Satu ember ikan
ada di tangan Helaha. Jika Adrian tidak melarang, Helaha sudah membawa kedua
ember ikan bagian suaminya yang
terisi dengan ikan munggai
dan cumi-cumi berukuran sedang.
Langit kian
redup. Sore beranjak malam. Adrian terus berjalan dalam diam sambil menatap langit
Neira yang kian menghitam. Helaha terus berjalan di depannya dengan langkah
yang panjang. Sebelum masuk ke rumah, Adrian
menghentikan langkahnya. Napasnya berat. Angin laut yang seharusnya melegakan
justru membuat dadanya kian sesak.
“Ada apa, sayang?”
tanya Helaha sambil memandang suaminya yang terdiam.
“Tidak. Tidak
apa-apa,” jawab Adrian sambil meneruskan langkahnya.
Sesampainya di
rumah, pelita telah menerangi seisi ruangan. Sepiring tumis terong dengan saus
kenari tersedia di atas meja. Adrian meletakkan ember ikannya di dekat meja. Ia
merebahkan diri di kursi kayu rotan. Tubuhnya
terasa lelah usai bertarung dengan laut dan angin beberapa hari ini. Namun sesuatu yang mengganjal di sudut
hatinya membuat Adrian semakin lelah.
Helaha mengintip
keluar rumah melalui jendela yang tertutup gorden. Setelah memastikan tidak ada
orang yang berseliweran di sekitar rumahnya, Helaha langsung membalik ember
yang ada di hadapannya. Ia memegang dan mengamati setiap ikan yang tumpah bergeleparan
di lantai. Karena merasa tidak menemukan ikan yang ia cari, Helaha mendekat ke
arah Adrian dan duduk di paha suaminya.
“Kau
mendapatkannya, sayang?” tanya Helaha.
“Bagian paling
bawah di ember yang aku bawa,” jawab
Adrian.
Helaha mencium
bibir Adrian dan beranjak. Ia
segera membalik ember ikan yang dibawa suaminya
hingga ikan-ikan kembali bergeleparan di lantai.
Istrinya kembali melihat setiap ikan. Bau amis kian memenuhi seisi rumah.
Ikan-ikan semakin menyebar tanpa arah. Adrian tetap terdiam, termasuk ketika
istrinya menggenggam sebuah ikan yang sedari tadi dicari. Mata Helaha berbinar
kegirangan.
“Orang-orang
kita dari masa lalu sampai sekarang selalu melepaskan ikan itu ke laut jika
tersangkut di jala. Ikan itu membawa musibah jika dimakan. Seharusnya kau tahu
itu,” kata Adrian.
Ucapan itu
membuat Helaha menatap Adrian dengan sorot mata tajam. Jika sorot mata
seseorang berupa pisau, Adrian pasti mati karena sorot mata itu mengoyak jantungnya. Helaha kembali
duduk di pangkuan suaminya.
Adrian masih
terdiam. Helaha langsung menggigit ikan hidup yang sedari tadi ada di tangannya
hingga darah ikan menyembur. Seolah
tidak peduli dengan darah ikan yang membasahi leher dan mengotori dasternya,
Helaha terus mengunyah ikan mentah itu. Darah dan
sisa gigitan daging ikan yang amis ikut membasahi wajah dan baju Adrian. Helaha
mendekat ke telinga Adrian sambil terus mengunyah.
“Dan ikan ini
yang membuat seorang wanita hamil di masa lalu. Seharusnya kau tahu itu, lelaki
mandul,” bisik Helaha.
Helaha terus
mengunyah ikan mentah. Sekitar mulutnya kini penuh dengan darah.
“Jika mani
milikmu tidak bisa membawa seorang anak, maka kau tidak perlu menggurui soal
musibah. Kemandulanmu adalah musibah untukku, brengsek.”
Adrian masih
saja diam dan kini kepalanya menunduk.
Tung
tung tung tung tung!
Adrian dan
Helaha tersentak mendengar kentungan yang disusul dengan riuh orang-orang dari
luar. Helaha langsung berlari ke arah
belakang, beharap tidak ada orang yang melihatnya berantakan. Adrian melepas
kaus dan menyeka darah yang ada di wajahnya. Ia segera keluar rumah dengan telanjang
dada. Di luar orang-orang berlarian kalang kabut. Tiba-tiba
tanese menubruk Adrian hingga keduanya tersungkur.
“Ada apa ini,
Bapa Tanese?” tanya Adrian.
Tanese berusaha
bangun dengan napas tersengal-sengal.
“La, lari
Adrian! Bawa istrimu! Tinggalkan Neira! Me, mer, mereka kembali! Mereka kembali
dengan pasukan dan kapal perang!”
Dor!
Sebuah peluru
yang entah dari mana asalnya mendarat di kepala tanese hingga membuat tubuhnya roboh. Seseorang menembak dari balik
kegelapan. Sebelum peluru berganti
menembus kepalanya, Adrian sempat melihat layar
kapal yang berlabuh. Ia mengenal betul lambang pada layar kapal itu–lambang Vereenigde Oostindische Compagnie.
Sisa-sisa
kesadaran Adrian kini melihat Helaha yang berteriak memanggil Adrian sambil
diseret keluar rumah oleh seseorang berkulit putih
berhidung mancung.
“Breng hem naar een bordeel in Batavia!”
Rureha lamadang: Salah satu jenis perahu di Kepulauan Banda denganbentuk buritan yang melengkung ke atas.
Masnait: Istilah masyarakat Kepulauan Banda untuk anak buah kapal.
0 Komentar