Ritual Legha Kiwan
Penjelajahan ini sangat mengesankan, lebih dari sekadar penelitian. Sebagai insan yang berdarah Baja dan Manus, penjelajahan ini mempertebal intuisi saya tentang kabudayaan kedua tanah asal dan kelahiran (Manus) yang sangat jarang saya kunjung. Bagaimana perjalanan saya ke sana, tak cukup saya ceritakan di sini. Yang pasti sangat tertantang dan mengasyikan.
Ritus adat yang saya
teliti (lebih tepatnya bahasa ritus) adalah kelas mese. Kenduri
yang diadakan secara besar-besaran. Saya menghadiri ritus kelas di
Manus dan Tok secara total. Saya menemukan banyak hal baru. Begitu banyak
pertanyaan yang muncul. Apa itu? Apa kegunaannya? Apa maksudnya? Mengapa itu
dilakukan? Berdasarkan itu, dalam kesempatan ini saya membagikan salah satu
dari sekian banyak hal yang saya amati, catat, dan dokumentasi, yaitu
ritual legha kiwan.
Salah satu warisan yang dijaga oleh masyarakat Manggarai Timur sejak
dulu sampai saat ini adalah ritual legha kiwan. Dalam dialek Manus,
kata legha berarti ‘selang’ dan kata kiwan berarti
‘tahun’. Namun, dalam konteks ritual, kata kiwan bukan mengacu
kepada “tahun” yang terdiri atas 12 bulan, melainkan “periode”. Kata “periode”
mengacu pada hari-hari sebelum dan setelah ritual. Jadi, ritual ini mengantarai
periode lama dan periode baru.
Tujuan utama ritual ini adalah mengucap syukur atas hasil panen. Syukur
dirayakan dengan makan padi baru bersama—padi yang benar-benar baru dari hasil
panen saat itu.
“Ini acara yang wajib dibuat pada malam hari sebelum keesokan
harinya kélas sebagai tanda syukur kepada leluhur, karena
kesuksesan, keberhasilan yang kita peroleh juga berkat dukungan mereka (baca:
leluhur). Kalau dalam konteks kami di sini syukur atas hasil panen yang
diperoleh. Sebelum besok kélas, kita perlu
bersyukur dulu sebagai penghormatan terhadap mereka.” jelas Raymundus (tokoh
adat) pada Kamis (17/09/2020).
“Toe di uwa dite kaut legha kiwan gho, pu isé éta pu lén olo. Zadi,
apa ata pesan disé olon pandé lité. Ai omé toé bisa rugi lisé, sama ata toé
hormat isé.” sambung Agustinus sebagai pemimpin ritual legha kiwan.
(Bukan di masa kita saja legha kiwan ini, sejak mereka (baca: leluhur) sejak masa mereka. Jadi, apa yang menjadi pesan mereka dulu kita lakukan. Jika tidak, mereka akan marah, sama saja kita tidak menghormati mereka)
Sarana utama ritual ini ialah seekor ayam jantan putih (manuk lalong bakok) dan seekor babi (ela). Dalam praktiknya, pemimpin ritual menyampaikan doa-doa kepada leluhur sambil memegang ayam, sementara itu, babi diletakkan di depan rumah. Panenan juga dihadirkan secara simbolis dalam ritual, seperti padi, jagung, dan sayur, yang disimpan di atas nyiru.
“Secara simbolis ayam jantan putih melambangkan ketulusan dan
keterbukaan hati kita di hadapan leluhur. Maksudnya, kita tulus mempersembahkan
itu kepada mereka sebagai rasa syukur. Juga sebagai simbol permohonan kita
kepada mereka, seperti kesehatan dan kesuksesan. Kita mengharapkan kesehatan
dan dibebaskan dari segala sakit penyakit ibarat ayam jantan putih. Kalau babi,
sebagai tanda syukur. Kita sudah menerima banyak berkat, maka perlu
mengurbankan hewan yang lebih besar.” jelas Raymundus.
Maksud atau tujuan ritual legha kiwan tercermin
dalam ungkapan simbolis: na’a wa kiwan manga téti kiwan weru, ramba
pesa kolé bébér, rasan kolé kopé, tua wua serop saun. Jika diparafrasekan
menjadi ‘melepas musim lama menyambut musim baru, supaya kembali bekerja,
membuahkan hasil’. Pelepasan periode lama diwujudkan dengan syukuran atas
berkat yang telah diterima, sedangkan penyambutan periode baru diwujudkan
dengan mohon berkat.
***
Masyarakat Agraris
Jika ditilik, ungkapan di atas mencerminkan masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris. Kata bébér ‘menebas/merambah’, kopé ‘parang’, wua ‘buah’, saun ‘daun’. Kata-kata ini menggambarkan intensitas interaksi warga Tok dengan lingkungan alam tempat mereka bergantung untuk kelangsungan hidupnya. Mereka adalah komune yang menanam cengkih, kemiri, dan coklat untuk menyambung hidup.
Parang merupakan alat yang mereka gunakan untuk bertani/berkebun; merambah (bébér) merupakan rutinitas mereka; dan buah (wua) dan saun (daun) adalah tuaian mereka. Melalui ritual legha kiwan, mereka bersyukur atas apa yang telah mereka kerja dan tuai di musim yang telah lalu dan memohon berkat untuk apa yang akan mereka kerjakan dan tanam pada musim yang baru.
Kesehatan dan Persatuan Adalah Yang Utama
Kesehatan jiwa dan raga yang baik adalah fondasi bagi keberlangsungan
hidup manusia. Bagi mereka kesejahteraan hidup ditandai dengan kesehatan jiwa
dan raga yang baik. Rahmat kesehatan selalu menjadi permohonan dalam ritual,
sebagaimana tercermin dalam ungkapan uwa gula bok leso ‘bertumbuh
di pagi hari berkembang di siang hari’.
Kata uwa (tumbuh) dan kata bok (berkembang)
menggambarkan harapan akan kesejahteraan hidup, yang disingkap secara
kronologis dengan pengetahuan mengenai kesuburan pertumbuhan dan perkembagan
tanaman di ladang. Dari perspektif ekolinguistik, kata Stibe, kosakata di
atas menggambarkan intensitas interaksi masyarakat setempat dengan lingkungan
alam tempat bergantung untuk kelangsungan hidup. Pengalaman kemudian digunakan
untuk menggambarkan dimensi kehidupannya yang lain.
Kemudian, pentingnya persatuan tercermin dalam ungkapan kope
oles todo kongkol ‘persatuan’. Mereka sebagai masyarakat komunal
membutuhkan teman untuk hidup dan bekerja sama dalam identitasnya sebagai
masyarakat agraris.
Dengan demikian, pemujaan leluhur adalah sumber kontrol sosial
yang penting, serta memperkuat hubungan kekerabatan dan sosial. Ritual
mencerminkan kedalaman hubungan kekerabatan. Ritual menjadi strategi budaya
untuk melindungi keturunan.
Hal itu terbukti dalam pelaksanaan ritual legha kiwan yang
melibatkan keluarga besar dengan peranan masing-masing. Peranan yang dimaksud
ialah peranan sebagai anak rona, anak wina, dan ase
ka’e. Dengan adanya peranan itu, keharmonisan hubungan kekerabatan menjadi
tanggung jawab bersama.
***
Puncak ritual legha kiwan adalah penyembelihan
hewan kurban, kemudian dilanjutkan dengan toto urat: tradisi prognosis
untuk melihat tanda-tanda kebaikan atau keburukan di waktu yang akan datang—dan
diyakini sebagai jawaban dari leluhur—melalui salah satu bagian organ tubuh
ayam yang dinamakan urat. Selanjutnya, ritual ini dirayakan dengan
makan padi baru bersama semua peserta ritual.
Dari pengalaman di atas dapat dilihat, ada hubungan timbal balik antara leluhur dan manusia yang diekspresikan melalui kerangka ritual. Manusia merawat mereka melalui persembahan ritual. Tindakan itu dibalas dengan berkat oleh mereka. Ritual leluhur membentuk nilai-nilai yang terkait dengan kepedulian terhadap leluhur dan sesama, yang begitu signifikan dalam kebudayaan Manggarai.
Penulis: Fransiskus Opileoanus Sanjaya—biasa dipanggil Opin. Redaktur Idelando.com
0 Komentar