Orang-orang Kampung
Begitu elegannya kampungku, sehingga membayangkannya hancur pun aku tak tega.
Idelando.com-Aku terbangun karena mendengar bunyi gelas antik milik bapak jatuh dan pecah akibat tersenggol kucing tetangga yang selalu saja nakal mengendap ke dalam dapur rumah kami untuk mencuri beberapa ikan goreng.
Rumah sepi. Bapak dan ema pasti ke kantor lurah.
Akhir-akhir ini ramai diberitakan kalau bumi sedang dilanda wabah. Dengan
keterbatasan alat komunikasi yang digunakan untuk mengakses informasi, berita
penting ini baru didengar dua minggu berikutnya di kampung kami tepatnya hari
ini, setelah di belahan bumi lain banyak korban mulai berjatuhan. Begitulah
kampung ini. Berita-berita terbaru baru kami peroleh kalau tukang kumpul koran bekas dari kota itu datang ke kampung kami. Dia datang dua minggu sekali hanya
untuk mengecek keberadaan rumah peot miliknya.
Aku mendengar bunyi langkah kaki mendekat ke
arah rumah kami. Pasti ema atau bapak yang sudah pulang dari kelurahan.
Setelah buru-buru mencuci muka, aku berlari keluar rumah sambil mengucek mata.
Ema sudah duduk manis di bale-bale bambu samping rumah, sambil mengipas-ngipas
tubuh dengan daun pepaya muda. Di sudut mulutnya terselip manis tembako yang
sudah kusut karena terlalu lama terselip di sudut langit-langit mulutnya.
“Joko tolong ambilkan siri pinang ema di meja
makan!”
“Iya, Ma.” Aku segera berlari lagi menuju meja
makan.”
“Ini, Ma.” Diambilnya siri pinang itu dari
tanganku lalu tersenyum simpul.
Aku memilih duduk di samping ema.
Rupanya pertemuan di kelurahan tadi telah usai. Banyak orang berbondong-bondong
pulang sambil bercerita dan tertawa lepas. Pagi yang selalu saja terasa biasa
dengan anak-anak kecil yang mulai berlarian keluar gang menuju petak-petak sawah
yang padinya mulai merunduk di seberang kampung. Kira-kira
dua minggu lagi masuk musim panen di kampung ini.
“Ma, tadi di kelurahan ada pertemuan
apa?”
“Tadi ada pembahasan tentang wabah. Tentang
banyak orang yang meninggal di kota, serta larangan untuk semua warga di
kampung ini agar tidak bepergian ke luar kampung.” Ema menjelaskannya cukup
singkat namun terbata-bata, lantaran sedang mengunyah sirih pinang. Sesekali
dimuntahkannya semburan berwarna merah dari mulutnya. Aku hanya mengerutkan
dahi. Miris sekali jika wabah ini sampai menelan korban jiwa. Dan lebih
mirisnya lagi, semua orang di kampung ini tidak tahu apa-apa tentang informasi
ini sebelum tukang kumpul koran bekas itu datang ke kampung ini. Begitu
banyaknya perkiraan-perkiraan kecil yang aku bangun sendiri.
Cipratan mentari bergegas dengan cepat menenun
siang. Sedari tadi pagi hingga siang ini bapak belum juga pulang. Kata ema,
tadi setelah dari kelurahan bapak langsung ke sawah. Aku sangat khawatir dan ema
sangat santai tertidur pulas di bawah pohon suci. Masakan untuk makan siang
sedari tadi disiapkan, hanya masih menunggu bapak supaya bisa makan bersama
seperti tradisi semua keluarga di kampung ini.
Tiba-tiba dari ujung gang keluar kampung, muncul
sosok tinggi tegap sedang mengayun langkah gontai dan sedikit senyum teduh di
tengah siang yang panas ini. Di bahunya dia memikul seekor babi berukuran cukup
besar. Aku tersenyum. Kali ini pasti jerat babi hutan bapak kena lagi. Dari
arah lain gang yang berlawanan, berlarian segerombolan anak kecil yang tadi
diusir emanya untuk pulang ke rumah sambil bersorak kegirangan. Dari raut
wajahnya terpancar dengan jelas rasa bahagia. Malam ini, semua warga akan
berpesta makan daging babi hutan. Begitulah. Kampungku sangat elegan dengan
kerukunan dan kebersamaan.
Sedari tadi setelah makan siang bersama bapak dan
juga setelah makan malam bersama semua warga atas hasil jerat babi hutan bapak,
pikiranku masih juga kalut tentang wabah ini. Baru tadi sore aku ke rumah
tukang kumpul koran bekas itu dan membaca semua beritanya. Sangat serius wabah
ini menyerang kota, merajalela dan tersebar menjangkit manusia lain. Berita itu
sangat ramai dibicarakan dari dua minggu lalu dan mungkin hari ini
pun wabah itu semakin ganas menyerang serta jumlah kematian pun
terus meningkat secara drastis.
Memikirkan itu, aku jadi tersedak. Dadaku terasa
sesak, air mataku hampir jatuh membayangkan banyak kemungkinan jika wabah ini
berhasil masuk dan merenggut habis orang-orang di kampungku ini. Pikiranku
terpantul jauh kembali terngiang tentang anak kecil yang tiap pagi berlarian
kecil menuju petak sawah. Ada juga ema-ema tangguh yang tiap sore menjunjung
air sumur di dekat kebun tua milik kakek. Ada juga bapak-bapak kuat yang tiap
sorenya berpulang dari sawah dengan senyum gagah berani. Sambil menahan air
mata yang hendak jatuh, aku berlari pulang ke rumah sambil membawa koran kusam
itu di genggamanku. Sungguh sedih membayangkan nasib orang-orang di
kampung kecil ini, yang jauh dari peradaban dunia, yang masih juga hidup
sederhana terkurung dalam kehidupan masa lalu tanpa alat komunikasi, tanpa
listrik dan tanpa alat transportasi. Begitu elegannya kampungku, sehingga
membayangkannya hancur pun aku tak tega.
Untuk kedua kalinya pentungan kampung berhasil
membangunkan aku dari mimpi. Kali ini pertemuan kedua di kantor lurah. Aku
menghadiri pertemuan pagi ini bersama ema dan bapak. Tidak banyak yang dibahas.
Pak lurah hanya mengatakan, kami harus berhati-hati dan berjaga-jaga, kalau-kalau
wabah ini masuk ke kampung kami. Pak lurah juga mengatakan bahwa berita terbarunya akan mereka dapat satu minggu
lagi saat pengumpul koran bekas itu pulang. Setelah itu kami semua
berbondong-bondong pulang ke rumah, ada yang ke sawah mengingat
seminggu lagi akan ada pesta panen. Bapak juga langsung ke sawah dan ema
memilih kembali bersama aku ke rumah agar bisa berdandan lagi dengan siri
pinangnya. Mukaku kusut, rasa takut kian mencekam. Aku hanya takut kalau-kalau tukang kumpul koran bekas itu tidak datang lagi lantaran banyak larangan agar tidak
bepergian. Atau bagaimana kalau dia pulang dengan membawa wabah
itu tanpa diketahui orang-orang di kampung ini?
Pagi ini, genap satu minggu aku mendengar
dentuman pentungan subuh dan teriak tukang pembawa berita. Aku bergegas menuju
kelurahan. Tak banyak orang yang hadir lantaran hari ini adalah pesta panen di
kampung jadi banyak warga memilih tinggal di rumah dan menyiapkan perjamuan pesta
sebentar malam. Bapak dan ema juga memutuskan untuk tidak ikut. Sesampai di kelurahan suasana semakin kalut. Semua yang hadir menopang dahi merawat
raut-raut luka. Pak Lurah yang sedari tadi diam dan memeluk erat istri serta
anak-anaknya bangun berdiri perlahan. Ia mengusap perlahan dadanya lalu mulai
bercerita. Aku menahan napas. Kekalutanku memuncak hingga ubun-ubun, dan air
mataku tak terasa perlahan-lahan menetes. Kata pak lurah, ternyata tukang
kumpul koran bekas itu dari dua minggu lalu tidak ke kota. Dia mengurung diri
dalam rumah peotnya dan baru tadi malam ditemukan sudah tak bernyawa lagi.
Semua orang mengusap air mata dan tertunduk lesu. Diperkirakan tukang kumpul
koran bekas itu sudah meninggal dua hari yang lalu. Memang benar dugaanku,
sejatinya wabah itu sudah ada di kampung ini.
Langit terasa mendung. Aku berlari kencang ke rumah. Air mataku jatuh sepanjang jalan. Tak kuhiraukan lagi anak-anak kecil yang teriak-teriak memanggilku di tengah petak-petak sawah. Dadaku sesak, ketakutanku memuncak. Ketika aku sampai di rumah kudapati ema sedang berdiri di depan pintu dan menangis. Kugapai ema lalu bergegas memeluknya erat. Banyak sekali warga yang datang ke rumah. Sambil memeluk ema aku menuntun ema lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah kudapati bapak yang akhir-akhir ini, sekitar dua minggu belakangan sering batuk-batuk telah terbujur kaku di atas tempat tidur beralaskan tikar anyaman buatan ema sendiri.
Penulis: Obby Keban. Pemilik facebook Obby Keban, Instagram Sajak 17desember, dan chanel youtube Sajak 17desember
0 Komentar