Cinta Butuh Waktu
Aku juga sudah bilang bahwa ritus itu dipercaya untuk melindungi Adonara dari mara bahaya. Jangan menelan mentah segala peristiwa. Tempat ini bukan tempat penyihir.
Idelando.com-Sebuah kapal kembali terbakar di pelabuhan. Orang-orang bergantian mengguyurnya dengan air laut yang diisi dalam ember. Mereka berupaya agar api tidak melalap dermaga yang hampir seluruh bagiannya terbuat dari kayu. Usai api padam, hanya kayu hitam lapuk dan rapuh yang tersisa. Suatu hal yang mustahil untuk membawanya ke laut tanpa tenggelam, meski hanya lima puluh meter jauhnya dari dermaga.
Kapal yang
terbakar itu menjadi pertanda bagi
Suryo–mahasiswa dari Jogja–bahwa ia belum bisa pulang ke Jogja. Ketika melihat
kapal yang seharusnya membawa dia dari Adonara
ke Larantuka terbakar, Suryo langsung terduduk lemas tanpa suara. Ia hanya bisa
memotret dan mengambil video orang-orang yang bergotong royong memadamkan api.
Bangkai kapal
itu segera diurus oleh orang-orang suruhan syahbandar. Suryo duduk di teras
rumah warga yang ada di dekat pelabuhan sambil mengamati layar gawainya. Ia mengetik
pesan, mengirim beberapa foto dan video kapal yang terbakar ke grup WhatsApp keluarga. Pesan terkirim pukul
empat dini hari. Perbedaan waktu jelas membuat pesan di grup ini tidak akan
langsung terbaca. Keluarganya di Bantul pasti masih tertidur pulas.
Syahbandar–yang
sudah mengenal Suryo–menghampiri Suryo yang sedari tadi terdiam.
“Maaf, tapi bapa
tidak bisa berbuat banyak,” kata syahbandar.
“Tidak apa-apa, Bapa.
Ini semua adalah insiden. Saya sudah menghubungi keluarga di Jogja. Mereka
pasti memahami,” jawab Suryo.
Syahbandar hanya
tersenyum dan berpamitan untuk kembali ke kantornya yang terletak tidak jauh
dari tempat Suryo duduk. Suryo menyalakan sebatang rokok kretek, cara
langganannya untuk menenangkan diri ketika sedang menghadapi keadaan yang
kusut. Berharap segala peristiwa rumit dapat terurai.
Deran menghampiri
Suryo yang masih terlihat mengetik pesan di gawai, menyodorkan secangkir kopi
dan sepiring jagung titi.
“Kamu belum
makan sejak pulang dari festival,” kata Deran.
“Terima kasih,
Deran.”
“Makanlah!”
Sebenarnya ia
masih merasa kenyang usai menghabiskan beberapa loma di
festival pagi tadi. Namun sebagai anak yang
lahir dengan petuah tabu jika menolak pemberian orang lain, ia memutuskan untuk
mengunyah jagung titi pemberian Deran dengan perasaan enggan.
Deran–putri
kepala desa–perempuan yang ditunjuk mendampingi Suryo selama di Adonara. Berita
kedatangan Suryo ke Adonara sebenarnya sudah terdengar sejak dua bulan sebelum
kedatangannya. Seorang mahasiswa dari
universitas besar di Jogja akan datang untuk meneliti tentang salah satu ritus
upacara adat di Adonara. Orang-orang desa, bahkan pemerintah daerah, meminta
Deran untuk membawa nama baik Adonara.
Suryo dan Deran
selalu pergi berdua berkeliling Adonara bahkan sebelum festival
diselenggarakan. Pihak kampus dan dosen pembimbing memang meminta Suryo datang
lebih awal agar bisa memperoleh data-data penunjang penelitian. Bagai anak
kecil yang pertama kali dibawa ke pasar malam, Suryo selalu terperanjat dengan
segala hal tentang Adonara. Kamera Suryo seolah tidak pernah berhenti
mengabadikan Adonara.
Mata Suryo
mencoba mencerna segala hal yang dilihatnya, dimulai dari hamparan pohon kelapa
yang menjejali setiap jengkal tanah Adonara, reruntuhan kerajaan Adonara di
pesisir utara desa Sagu, rumah tua di atas bukit dengan meriam kuno yang
tergeletak di halamannya, dan danau Kota Koya. Dari atas bukit, Suryo dapat
memandang empat desa Adonara yang berada di teluk, diapit oleh perbukitan dan
danau Kota Koya di sebelah selatan. Sebuah
bentang alam yang berhasil membuatnya lupa sejenak akan ramai Jalan Sudirman
dan lingkar Stadion Kridosono yang biasa ia lewati ketika di Jogja.
“Apakah ini
isyarat api?” tanya Suryo memecah keheningan.
Deran hanya
diam.
“Menurutmu, apa
yang leluhur ingin sampaikan lewat peristiwa ini? Sudah dua kali
kapal terbakar, dan semua kapal yang terbakar adalah kapal yang akan membawaku
menyeberang. Apakah ini pertanda buruk?” tanya
Suryo lagi.
“Jangan semua
hal tentang api kamu kaitkan dengan ritus dalam festival,”
kata Deran.
“Kenapa jangan?
Aku akademisi, terlebih seorang peneliti. Sudah dua kali aku terlibat di
festival itu. Bertanya kepada penduduk, tua-tua adat, memotret, dan membuat
catatan lapangan. Kamu sendiri juga mengatakan bahwa api dipercaya sebagai
isyarat nenek moyang dan menjadi tugas orang-orang menggunakan intuisi mereka untuk
menerka isyarat tersebut,” jawab Suryo dengan nada yang sedikit meninggi.
“Aku juga sudah
bilang bahwa ritus itu dipercaya untuk melindungi Adonara dari mara bahaya.
Jangan menelan mentah segala peristiwa. Tempat ini bukan tempat penyihir.”
“Lantas apa yang
membuat kapal itu terbakar jika bukan karena pertanda buruk?”
“Bensin yang
tumpah mungkin. Atau mesin yang lupa dimatikan. Atau rokok nahkoda yang menyala
di dekat tangki bensin.”
“Ayolah! Kamu
mengajariku tentang kepercayaan daerahmu, tapi kamu menampik segala isyarat yang
ada di sekelilingmu,”
“Aku mengajarimu
kepercayaanku untuk kamu tulis. Bukan untuk kamu percaya.”
Deran beranjak
dari tempat Suryo duduk dan pergi entah ke mana. Barangkali ia hendak pergi ke
pantai untuk menyambut ayahnya yang sebentar lagi kembali dari laut. Langit
memang perlahan melukis cahaya kemerah-merahan di langit timur. Pagi sebentar
lagi datang. Biasanya Suryo ikut membantu ayah Deran mengurus jala dengan ikan,
kepiting, dan gurita yang tersangkut. Namun kali ini Suryo sedang ingin diam di
tempat, memandangi dermaga, teluk, sambil terus mengingat ritus api yang ia
lihat di festival.
Sebuah pesan
masuk ke WhatsApp Suryo, pesan dari
kekasihnya di Purwokerto yang sejak minggu lalu selalu mengirimkan ucap risau.
Kepulanganmu
ditunda seminggu lagi? Bagaimana penelitianmu? Aku masih saja mengkhawatirkanmu, kata
kekasih Suryo melalui pesan WhatsApp.
Suryo tidak mengetik pesan balasan dan memilih untuk meletakkan gawainya di kantong jaket. Langit kian terang. Suryo berjalan menuju kediaman Deran. Masih ada banyak hal yang ingin Suryo tahu dari Deran.
***
Di sudut pantai
yang sepi–di balik batu karang–Deran menyerahkan satu kantong plastik hitam
berisi tumpukan uang kepada syahbandar.
“Ini untuk
pembayaran minggu depan,” kata Deran.
Syahbandar
menerima kantong plastik tersebut.
“Sampai kapan nona akan mencoreng warisan nenek moyang kita? Nona tidak bisa membiarkan Suryo berpikir bahwa semua ini ada hubungannya dengan ritus api. Sampai kapan nona mau menghabiskan uang nona hanya untuk memintaku membakar dan membeli kapal baru setiap minggu?” kata syahbandar.
Deran diam sejenak.
“Semakin lama
dia di sini, dia akan semakin mencintai tempat ini. Bapa
tenang saja. Cinta butuh waktu. Dia akan semakin tertarik padaku, mencintaiku,
dan meninggalkan kekasihnya yang ada di Jawa. Aku pastikan, Suryo akan tetap di
Adonara.”
Syahbandar hanya diam, sama seperti orang-orang di pelabuhan yang mengetahui maksud di balik tindakan Deran. Mereka hanya bisa mengirim doa dan rasa iba.
Kutoarjo, 05 September 2021
0 Komentar