Perjalanan ke Yogyakarta: Sebuah Catatan
Idelando-Dua jam sebelum keberangkatan, saya sudah di Bandara Komodo untuk melakukan check in. Sebelum menuju tempat check in, di beranda gedung bandara saudara saya memberi saya sebuah buku. Katanya, buku itu ringan dibaca. Sangat cocok dibaca untuk mengisi waktu santai. Buku setebal 89 halaman itu pun habis saya baca selama di ruang tunggu. Isi buku itu membuat saya tersenyum-senyum, kadang manggut-manggut, sehingga tidak saya sadari sudah pukul 18.00 Wita. Petugas boarding gate mengumumkan bahwa pesawat Nam Air dengan nomor penerbangan IN 275 akan segera flight.
Langit Labuan Bajo mulai kemerahan, petanda surya pulang ke kediaman. Satu demi satu penumpang menyusuri tangga masuk pesawat. Ada yang begitu semangat walau ransel besar di pundak, ada pula yang berpose sebelum masuk. Tapi tidak dengan saya. Siapa yang tidak risau hatinya, pergi untuk pertama kalinya meninggalkan kampung halaman tepat saat senja. Mata melihat sekeliling bandara seperti mengucap salam perpisahan. Sebentar lagi di atas awan atau laut. Jauh dari rumah. Sambil dalam hati mengutip Seno “…padahal perpisahan membuat peluang untuk berbahagia terbuka seluas semesta.”
Seorang bapak dengan tergesa-gesa bertanya, “Pak tolong saya dulu, bagaimana cara lihat nomor bangkunya?” sambil memperlihatkan boarding pass yang dipegang dengan tangan gemetar. Saya pun mengarahkan bapak itu duduk di bangku deretan bagian kiri, setelah melihat boarding pass yang nomor kursinya sudah dilingkari pulpen hitam—entah siapa yang melingkarnya. Teringat saudara saya yang telah menjelaskan prosedur menumpangi pesawat bak pramugari. Terdengar membosankan, tetapi setidaknya saya luput dari kebingungan saat pertama kali berada dalam pesawat.
Di sisi lain, apa yang mau ditakutkan dari zaman yang serba mudah ini. Kita hanya takut menjadi orang asing. Padahal untuk mengetahui banyak hal berawal dari keasingan. Papan nama ruang dan penunjuk arah di bandara adalah kemudahan bagi saya untuk beranjak dari keasingan. Kadang, kita juga memilih yang sulit walau kemudahan ada di hadapan kita. Seperti seorang gadis yang hendak ke boarding gate, lebih memilih tangga manual daripada eskalator. Padahal ia ngos-ngosan membawa dua tas ransel menyusuri tangga yang menuntut puluhan langkah.
Puluhan penumpang pesawat didominasi oleh penumpang asing daripada lokal. Dua kursi di samping kanan saya ditempati dua gadis Prancis yang pulang berwisata dari Labuan Bajo. Saya tahu dari perkenalan singkat—saya lupa nama mereka. Dua gadis itu menarik perhatian saya. Suara mereka yang lembut dan ceria mengenang Labuan Bajo. Tapi bukan itu yang menarik. Keduanya memegang buku tebal dengan judul berbeda. Kalau dilihat dari judulnya, itu novel. Ternyata benar, setelah dengan susah payah saya menerjemahkan ucapan mereka. Lalu, mereka membaca tanpa bersuara.
Dari arah lain, dari samping kiri, seorang bapak paru baya, bule, tampak membolak-balikkan halaman buku. Di depanya juga, seorang bule, khusyuk membaca buku. Seakan tak ada yang lebih menarik dari buku bagi mereka. Dua penjelajahan dilakukan sekaligus. Waktu tidak terbuang cuma-cuma. Ini adalah pelajaran baik yang takan terelakan dari retrospeksi. Suatu kebiasaan yang jarang saya alami. Hmm, paradaban macam apa ini? Mungkin, penjelajahan mereka dari Eropa sampai di Labuan Bajo adalah buah dari membaca. Selain jumlah uang mereka yang banyak. Seperti yang diungkapkan guru SMP dulu: jika seseorang membaca, maka seseorang bisa membaca semuanya. Malam 16 Agustus 2019 di udara menjadi malam penuh kontemplasi.
Tiba-tiba terdengar suara benturan: duk! Pesawat terasa bergetar. Nafas berhasil saya tahan di dada. Para penumpang saling berpandangan. Dari speaker terdengar suara pramugari bahwa pesawat akan menambah ketinggian terbang, karena sedang badai. Penumpang diimbau tetap tenang dan tetap mengenakan sabuk pengaman. Sementara itu, dua gadis dan dua bapak sudah menutup buku. Sesungguhnya, membaca adalah pilihan, tetapi meluangkan waktu untuk membaca, sangat penting adanya.
Tak lama kemudian pesawat kembali bergetar, bahkan lebih cepat. Petanda ban menyentuh landasan. Dari speaker terdengar lagi suara pramugari “selamat datang di Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar Bali. Terima kasih sudah terbang bersama Nam Air”. Hati terasa lega, namun beranjak kembali setelah pramugari menginformasikan bahwa penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta tetap bertahan di pesawat. Pesawat terasa lengang, hanya ada pramugari, satu suster, dan tiga pemuda yang mungkin mahasiswa baru juga. Dua gadis di samping saya dan yang lainnya tak tampak lagi. Sementara itu, dari arah depan, penumpang masuk satu persatu. Perjalanan ke Yogyakarta pun dilanjutkan.
Mori! Teriak saya dalam hati setelah sadar bahwa buku yang saya pegang dari tadi adalah buku metode penelitian. Buku yang lebih cocok dibaca di ruang kelas atau saat mengerjakan artikel. Tampaknya saat transit saya salah mengambil buku. Memang agak tergesa-gesa waktu saya mengambilnya di bagasi kabin pesawat. Takut dibilang sok—hanya perasaan saya. Apalagi di dalam tas ada empat buku, satu buku kumpulan cerpen yang warnanya hampir sama dengan buku yang saya pegang. Untungnya, bapak di samping saya tertidur pulas. Saya menjadi agak lega.
“Selamat datang di kota pelajar…”. Suara pramugari terdengar lagi. Wah! Sebentar lagi kaki menginjak kota yang sebelumnya hanya dilihat melalui televisi, buku-buku bacaan, atau percakapan teman. Kota yang dinanti-nanti. Setelah mengambil barang, saya menghampiri tiga saudara saya yang sedari tadi menunggu di tempat penjemputan. Setelah berpelukan ala FTV, kami pun menuju Sagan dengan motor yang sengaja dimodif menjadi klasik. Katanya lagi tren, padahal pantat sakit setengah mati. Motor egois!
Seberisik inikah kota ini? Tidak seperti Ruteng. Iyalah! Baik kendaraan kecil maupun kendaraan besar melaju sangat cepat, bagai harimau memburu mangsa. Saudara saya sangat cepat tapi terkendali mengendarai motor, menyalip baik dari kiri maupun kanan. Katanya, jika tak cepat, tertubruk kendaraan yang datang dari belakang.
Sementara itu, di samping kiri kanan jalan terlihat berdiri megah bangunan-bangunan, baik bangunan yang lebih tinggi dari kantor bupati Manggarai, maupun bangunan dekonstruksi. Indah tersorot lampu dengan nama yang bikin pening. Perjalanan itu menampilkan fragmentasi kehidupan modern dengan terlihatnya orang-orang sedang nongkrong di kafe-kafe.
Kehidupan perkotaan sebagai satu fragmen, sebagaimana yang terlihat di layar televisi, kebiasaan orang-orang kota berkunjung ke kafe memesan makanan atau minuman. Sementara itu, di langit, kembali dalam hati mengutip Seno, “…siapakah yang masih peduli rembulan itu ada atau tidak? Yang masih peduli hanyalah orang-orang romantis atau pura-pura romantis.” Lalu, kami masuk ke gang dan lorong yang diapiti bangunan indekos, penghuninya menuturkan bahasa ibu. Lalu terdengar saudara saya: “Ka’e, di Jogja ini ada dua sisi, sisi terang dan sisi gelap. Tergantung cara kita memandang. Kalau sisi gelap yang dilihat pertama kali, ya sudah…”.
Oleh Opin Sanjaya, Redaktur Idelando
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan di Ngkiong.com. Ini sebagai bentuk dokumentasi dari penulis.
0 Komentar