Belajar Berdemokrasi dari Hikayat Penguin Karya Anatole France
Idelando-Saya merasa perlu membagikan hasil pembacaan saya tentang Hikayat Penguin yang ditulis oleh Anatole France. Hikayat Penguin adalah sebuah karya klasik Prancis yang terbit pada tahun 1908, tetapi gaungnya tetap terbawa hingga kini.
Edisi yang saya baca, pertama kali diterbitkan oleh Taman Moooi Pustaka pada Mei 2020. Ketika dipromosikan oleh Griya Buku Pelangi di Instagram, saya langsung tertarik dan tanpa menunda-nunda memesan buku ini. Tentang siapa itu France, sahabat Ngkiong.com bisa mencarinya di google.
Hikayat Penguin diterjemahkan dari bahasa Prancis, L’ le des Pingouins. Kisah ini diawali seorang misionaris bernama Mael yang melaut hingga kutub dan membaptis sekawanan penguin. Dari pembaptisan itu dimulailah hikayat penguin, sebuah satir peradaban, dari zaman kegelapan ke masa yang penuh kemajuan.
Bab pertama buku ini yang diberi judul Awal Mula, tepatnya pada subbab ke enam dan tujuh menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Karena saya pernah menjumpai dan mengalami kisah serupa dalam petualangan saya.
Singkat cerita, ketika berita pembaptisan penguin tersebar di surga, tidak ada yang gembira sekaligus tidak ada yang bersedih. Hal itu adalah kejadian yang tak disangka-sangka. Bahkan Paduka Yang Mulia bingung. Dia mengumpulkan para ahli dan meminta pertimbangan tentang keabsahan pembaptisan itu.
Pembaptisan penguin oleh Santo Mael menimbulkan perdebatan di sidang majelis surga. Para ahli berpendapat dengan alasan masing-masing. Sebagian mengandalkan logika, sebagian lagi mengandalkan pengalaman semasa hidup di dunia.
Menurut Santo Petrus sakramen pembaptisan menjadi tidak sah jika diberikan pada burung, seperti sakramen pernikahan yang tidak sah jika dilakukan pada seorang banci, sedangkan Santo Gal menganggap membandingkan pembaptisan burung dengan pernikahan banci sangat tidak pas.
Sementara itu, Santo Damaskus berpendapat, untuk memahami apakah pembaptisan itu sah dan membawa konsekuensi, harus dipertimbangkan siapa yang memberi baptis, bukan siapa yang menerima.
Santo Geunola menentang pendapat itu. Baginya, baptis memusnahkan dosa bawaan dan mendatangkan berkat dan anugerah kebajikan, sedang penguin tak punya dosa dan tidak mampu menerima kebajikan dari pendeta dan perawan suci.
Santo Agustinus berpendapat bahwa kekuatan sakramen terdapat pada doa yang diucapkan. Probus yang setuju dengan gagasan itu menegaskan bahwa esensi sakramen pembaptisan lebih penting ketimbang bungkus.
Oleh karena diskusi belum mendapat pencerahan, maka diputuskan untuk meminta pendapat Santa Katerina dari Aleksandria. Santa Katerina, semasa hidupnya di dunia, pernah membikin takjub lima puluh pakar yang teramat cendekia. Dia menguasai pemikiran filsafat Plato, sebagaimana dia menguasai kitab suci dan ilmu retorika.
Menurutnya, sebaiknya kawanan penguin dianugerahi kepala dan tubuh manusia, serta jiwa dalam ukuran kecil, agar mereka juga patut memuji Paduka.
Namun pendapat Katerina ditentang oleh Santo Antonius dan Orosius. Mereka memohon agar Paduka Yang Mulia tidak lagi menciptakan monster. Monster cenderung menjadi berhala dan hakikatnya yang memiliki dua wujud tak sejalan dengan kemurnian tatanan.
Para ahli terus berdebat, hingga sidang diakhiri oleh gagasan si tua Hermas. Dengan pemikiran terbuka penuh kelembutan, Hermas menyampaikan agar Paduka Yang Mulia mengubah penguin menjadi manusia. Pendapat Hermaslah yang disetujui Paduka dan para penguin pun diubah menjadi manusia.
Sahabat Ngkiong yang budiman, saya seperti baru melihat brownies ketika membaca hikayat ini. Buku setebal 325 halaman, yang sebenarnya ingin saya selesaikan sesuai waktu karantina 14 hari, ternyata dibaca dalam tempo tiga hari saja. Bagaimana tidak, alur ceritanya menggugah selera saya untuk terus menerus mengunyah kelembutan kisah yang disajikan. Sampai kadang lupa bahwa malam telah larut.
Saya meyakini bahwa setelah sahabat Ngkiong.com membaca kisah yang secara singkat saya sajikan di atas, beragam makna dapat dipetik. Walau apa yang saya bagikan hanyalah sepenggal kisah dari Hikayat Penguin. Pengetahuan akan semakin kaya bila sahabat Ngkiong.com membaca sendiri buku ini.
Suatu waktu, saya menyaksikan perdebatan di layar televisi. Mereka yang disebut politikus atau pengamat saling tunjuk dan menyerang pribadi. Mereka saling mempertahankan pendapat tanpa saling mendengarkan. Mereka saling memotong pembicaraan tanpa menganalisis terlebih dahulu, sehingga diskusi tidak menemukan titik terang.
Peristiwa serupa saya alami dua bulan lalu ketika saya diajak ngopi oleh seorang teman di satu kafe di Jogja. Katanya, di warung kopi kita lebih banyak menimba ilmu, sedang di kelas kita hanya belajar ilmu formal. Di warung kopi kita bertemu orang-orang yang hebat gagasannya.
Saya mengakui hal itu. Namun, saya tidak dapat menegasikan bahwa di warung kopi tidak semua orang mau saling mendengarkan. Ada yang tahu banyak tapi tak mau menerima masukan. Ada yang tahu sedikit tapi memaksa bicara lebih banyak. Saya sebagai pendengar merasa berpikir padahal tidak berpikir. Kita pun membawa pulang gagasan yang belum diyakini diri sendiri.
Jika kita kembali pada hikayat, maka kisah tentang sidang majelis surga di atas rasanya bisa menjadi bahan refleksi yang baik tentang demokrasi. Dari kisah di atas dapat dipetik suatu makna bahwa demokrasi mengutamakan kepentingan bersama, menghargai dialog yang kreatif, dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan.
Para ahli dalam novel saling beradu pendapat, bukan menyerang pribadi. Walau berbeda pendapat, mereka masih saling mendengarkan dan menerima keputusan yang diambil. Jadi, begitulah versi sederhana dari demokrasi. Kita harus berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain.
Dari para Santo kita belajar menghargai dan menerima pendapat orang lain, tidak mendominasi pembicaraan, menerima dan melaksanakan keputusan yang diambil, tidak bersikap egois, lebih mengutamakan kemampuan nalar dan akal sehat, serta santun dan tertib dalam berpendapat.
Dari si tua Hermas kita belajar pemikiran terbuka dan lembut. Karena pikiran terbuka dan lembutlah yang jujur dan baik budi bahasanya. Bukan tidak mungkin, gagasan si tua Hermas yang memberikan solusi pada sidang majelis surga adalah buah dari mendengarkan dan menerima gagasan orang lain.
Dari Paduka Yang Mulia kita belajar bahwa puncak dari sikap demokratis adalah kebijaksanaan. Sebagai pencipta alam semesta, Ia menyerahkan suatu masalah untuk didiskusikan dan diselesaikan bersama. Ia mendengar, menerima, dan menganalisis setiap gagasan yang masuk untuk melahirkan keputusan yang bijak. Keputusan yang tidak merugikan siapa pun.
Jadi, menjadi demokratis tidak harus melalui hal-hal yang besar, tetapi harus dimulai dari hal-hal yang kecil. Karena tidak sedikit orang berbicara soal demokrasi, padahal dengan cara yang tidak demokratis.
Akhir kata, hajatan demokrasi berupa pilkada secara serentak yang akan datang kiranya bukan lagi menjadi wadah bagi kita untuk saling menyerang pribadi karena berbeda pilihan, melainkan wadah untuk merawat demokrasi melalui sikap mendengarkan, menghargai, dan menerima perbedaan.
Oleh Opin Sanjaya, Redaktur Idelando
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan di Ngkiong.com. Ini sebagai bentuk dokumentasi dari penulis.
0 Komentar